Halo. Namaku Aqeelah Beatrix Maharani. Aku adalah seorang anak perempuan 11 tahun blasteran Prancis-Indonesia. Papi berasal dari Prancis, sedangkan Bundaku asli Indonesia. Rambutku panjang sebahu berwarna cokelat kehitaman, kulitku putih sekali. Aku juga memiliki hidung yang mancung, mata yang elok, alis yang tebal, dan badanku cukup ideal. Sempurna, bukan?
Ya, aku sangat bersyukur Tuhan memberiku rupa yang bisa dibilang "sempurna". Namun, tidak dengan hidupku. Aku benci hidup ini! Aku kadang berpikir, untuk apa aku dilahirkan? Jika hampir seluruh organ tubuhku hilang hanya untuk diberikan kepada Bunda. Bundaku memang memiliki suatu penyakit yang aneh. Organ tubuh yang penting milik Bunda secara tiba-tiba hilang begitu saja.
Seperti pagi ini. Aku disuruh Papi untuk mandi lebih cepat, karena aku, Bunda, dan Papi akan segera pergi ke rumah sakit untuk mendonorkan darahku kepada Bunda. Tak tahu kenapa, semalam keadaan Bunda drop. Saat papiku memeriksa Bunda, ternyata darah Bunda turun drastis (Papi memang bekerja sebagai dokter). Papi tidak bisa mendonorkan darahnya karena darah Papi dan darah Bunda berbeda golongan darahnya. Golongan darah Bunda; B, Papi; A, aku; B.
"Qeela! Cepat, Sayang! Papi khawatir Bunda kenapa-napa," panggil Papi dengan nada khawatir. Aku gusar. Papi kelihatan lebih sayang dengan Bunda ketimbang aku. "Aku siap, Pi," ucapku dengan sedikit tidak ikhlas, sambil duduk dijok mobil. Papi langsung menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.
Diperjalanan, aku memperhatikan Bunda. Bunda terlihat lemas sekali. Namun, saat Bunda melihatku, Bunda memaksakan untuk tersenyum. "Pagi, Sayang...," sapa Bunda. "Pagi, Bunda," kataku, ketus. "Kamu siap mendonorkan darah untuk Bunda?" tanya Bunda. "InsyaAllah." ujarku dengan singkat. Bunda tersenyum lemah. Jujur, dalam hatiku yang paling dalam, aku sedih sekali melihat kondisi Bunda sekarang ini. Aku cinta Bunda. Aku sayaaang banget sama Bunda. Tetapi, walaupun aku sayang sekali dengan Bunda, manusia juga masih punya rasa kesal, kan?
Sesampainya di rumah sakit...
Dokter dan para perawat sudah menunggu kedatangan Bunda. Setiap minggu Bunda memang selalu kontrol ke rumah sakit ini. Dan dokter itu adalah dokter spesialis untuk penyakit Bunda. "Selamat pagi," sapa Pak Dokter. "Pagi. Tolong periksa keadaan istri saya, ya, Dok. Saat ini ia kehilangan darahnya, dan anak saya siap untuk mendonorkan darahnya. Tolong secepatnya!" kata Papi, to the point. Dokter mengangguk. Dokter dan perawatnya membawa aku dan Bunda ke ruang donor darah. Sebelum itu, Dokter memeriksa dahulu golongan darah Bunda dan aku.
Setelah itu, aku langsung diambil darahnya. Persediaan darah untuk golongan B sedang kosong. Tak lama setelah itu, darahku akhirnya dipindahkan ke dalam tubuh Bunda.
Walaupun darah ditubuh Bunda sudah terisi, namun kondisi Bunda semakin lemah. Lemah... lemah... dan semakin lemah... Papi memegang tangan Bunda sambil selalu berdo'a. Aku juga ikut mendo'akan Bunda. Tiba-tiba Bunda membuka mulutnya dan berucap, "Aqeelah... Aqeelah... dimana dia sekarang? Bunda ingin bertemu... Aqeelah... Aqeelah." aku melirik Bunda. Aku langsung berdiri disamping Bunda. Aku memeluk Bunda sambil menumpahkan air mataku. "Bunda... Bunda... aku sayang Bunda," isakku. Bunda memelukku erat sekali. "Terima kasih buat semuanya, ya, Qeelah... Bunda sayang kamu," ujar Bunda dengan senyumnya. Aku tersenyum manis sambil melepaskan pelukan Bunda. Lalu Bunda memeluk Papi, dengan berkata terima kasih dan tersenyum juga.
Apa maksud semua ini, Bunda?
Bunda tersenyum lagi. Tersenyum tulus. "Bunda sayang Papi dan Qeela..."
Setelah itu, tangan Bunda terasa dingin. Wajah Bunda sangat sangat pucat. Denyut nadi dipergelangan tangan dan leher Bunda sudah tidak terasa lagi. Nafas Bunda semakin melemah. Bunda tersenyum untuk yang terakhir kalinya. "BUNDAAA...!!!" teriakku dengan tidak sanggup. Aku menangis, menangis kencang sekali. Aku memeluk Bunda sambil terus membangunkan Bunda. "Bunda, Bunda... bangun, Bun! Bangun, Bunda... Aqeelah sayang banget sama Bunda. Maafin Qeelah, Bun! Bundaaa...," aku menangis. Papi cepat-cepat memanggil dokter dan perawatnya. Papi kelihatan tegar, namun aku tahu... dihati Papi yang paling dalam, Papi sedih sekali dan sangat merasa kehilangan atas perginya Bunda.
Dokter memeriksa jantung Bunda. Mimik muka Pak Dokter kelihatan sedih. "Maaf, dengan rasa kehilangan yang paling dalam, Saudari Anissa dinyatakan meninggal dunia." Oh! Mendengar itu, seperti mendengar petir menggelegar bagiku. Bunda, Bunda...
Aku sedih sekali. Sangat sangat sedih. Walaupun dulu aku sangat membenci Bunda, tetapi sekarang aku baru merasakan ditinggal Bunda. Bunda, aku minta maaf... aku sayang Bunda. Terima kasih atas senyum terakhirmu untukku, Bunda.
kereeeennnnnn cerpennya kaka syahlaaa...
BalasHapusalhamdulillah, makasih ya tante :)
HapusKereeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnnnn
BalasHapushehehe, makasih yaa ^^
Hapus